Ganti rugi lahan pembangunan Jalan Tol Binjai-Langsa, tepatnya di Dusun III Desa Bukit Mengkirai, Kecamatan Gebang, Kabupaten Langkat, hingga kini masih menjadi persoalan.
Terbaru, warga sekitar yang lahannya terkena pembangunan ruas jalan tol tersebut, mengaku belum menerima uang ganti rugi. Alhasil, warga pun menjadi emosi dan ricuh serta nyaris terjadi baku hantam dengan petugas PT HKI.
Karena emosi, tenda milik PT HKI yang terpasang disekitar proyek pembangunan tol, nyaris dibuat roboh oleh warga.
Tak hanya sampai disitu, warga pun memblokade jalan akses pengerjaan jalan tol dengan bambu. Hal ini dilakukan warga karena proses ganti rugi lahan belum diselesaikan. Warga beralasan, sebagian lahan sawit mereka terendam air akibat pembangunan Jalan tol Binjai-Langsa.
"Air yang menggenangi lahan perkebunan sawit milik warga, karena disebabkan buruk atau tertutupnya drainase," ungkap warga sekitar.
Berdasarkan informasi yang diperoleh awak media, warga Dusun III Desa Bukit Mengkirai, menggantungkan hidupnya dengan bertani sawit. Namun akibat lahan perkebunan sawit mereka terendam air, penghasilan mereka pun sangat menurun drastis, bahkan mengalami kerugian.
"Kami yang terdampak ini merasa dibodohi dan ditindas, serta hak kami dirampas. Surat kami jelas, ada suratnya dan SHM," ujar Hondol Sianturi, salah seorang pemilik lahan, Selasa (8/10).
"Mereka (PT HK) mengatakan ini sudah melalui prosedur, tapi kalau kami bilang tidak. Dari awal pun kami tidak pernah dikumpulkan untuk rapat atau musyawarah," sambungnya.
Lebih lanjut dikatakan Sianturi, dari hasil rapat atau musyawarah, seharusnya terjadi kesepakatan harga. Apalagi menurutnya, lahannya yang terkena pembangunan jalan tol merupakan lahan produktif.
"Kalaupun ini dikerjakan oleh pemerintah untuk program pembangunan proyek negara, ya sah-sah saja. Tapi imbas dari lahan kami yang dipakai ini, dibayar dengan harga sesuai. Tapi kami yakin ada oknum di beberapa instansi yang terlibat dalam proyek ini, mereka mengatasnamakan peraturan atau hukum, tapi hukum yang seperti apa," tanya Sianturi dengan nada kesal.
Ditegaskan Sianturi, seandainya hukum dan kebenaran itu adil, maka para pemilik lahan tidak akan memberontak.
"Kami punya naluri, mana yang benar dan yang salah. Makanya kami gak terima. Ganti ruginya sama sekali belum ada. Tapi mereka berdalih sudah menitipkan di pengadilan. Pernah saya bilang, tanah ini bukan milik pengadilan, tanah ini milik bapak saya," tegas Sianturi.
Disinggung berapa meter total lahan miliknya yang terkena lahan pembangunan jalan tol, Sianturi mengaku seluas 3.200 meter.
"Tapi kalau menurut kasat mata kami, itu pasti lebih. Artinya tidak sesuai dengan ukuran yang mereka berikan dengan lahan yang terpakai. Saya juga sudah tawarkan dengan mereka, mari kita ukur lahan saya yang sisa, supaya ketahuan berapa yang terpakai. Karena tanah sudah lengkap volumenya dalam sertifikat," urainya.
Meski begitu, para pemilik lahan yang terkena proyek pembangunan jalan tol sebelumnya sudah pernah Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Langkat pada awal tahun 2022.
Tak hanya itu, mediasi di Polres Langkat juga sudah beberapa kali dilakukan. Tapi keluhan yang disampaikan oleh para pemilik lahan diduga tak ada penyelesaiannya.
"Dan satu yang penting, pelaksana pihak pengembang proyek ini, kami menduga sudah ada kongkalikong dengan pejabat desa kami, termasuk kepala desa. Sehingga mereka berani langsung bertindak di lahan kami dan mungkin karena sudah ada yang menjamin. Kepala desa kami tidak pernah terbuka sama kami yang terkena lahannya," ujar Sianturi, seraya mengatakan jika pemilik lahan memohon kepada Pemerintah agar persoalan ini dibongkar secara terang-benderang.
"Kalau kami salah, ajarin kami biar benar, jangan kami diseret-seret ke hukum. Kami berharap ke bapak Presiden Joko Widodo atau presiden terpilih, agar lebih peka. Presiden itu ada karena rakyat. Yang tadinya ada program mensejahterakan rakyat, jadi kami dimiskinkan," sambungnya.
Seharusnya dari lahan yang dipakai untuk pembangunan jalan tol ini, lanjut Sianturi, pemilik lahan bisa mengembangkan ekonominya agar lebih sejahtera.
Terpisah, Kapolsek Gebang, AKP Abed Nebo, menjelaskan persoalan yang terjadi di Dusun III, Desa Bukit Mengkirai.
"Kami mulanya diinformasikan bahwa ada beberapa warga yang masalah ganti rugi lahannya belum juga ada proses atau belum juga terealisasi. Mungkin masih ada hambatan administrasi yang mana masih berproses," ujar Abed.
Abed juga mengungkapkan, tujuan pihaknya disana adalah dalam rangka menjaga stabilitas situasi kamtibmas agar jangan sampai timbul hal-hal yang bisa melanggar hukum, baik dari pekerja HKI maupun masyarakat yang menuntut ganti rugi lahan.
"Kita juga menengahi dan memediasi masing masing pihak agar menunggu proses yang sedang berjalan," ujar Abed.
Kapolsek Gebang ini pun berharap kepada masyarakat agar menahan diri dan jangan memaksakan kehendak serta menunggu sementara waktu proses penyelesaiannya.
Diketahui, hingga kini awak media masih berupaya mendapatkan komentar dari pihak PT HK ataupun PT HKI terkait persoalan tersebut.