Bulan September lalu, Indonesia menghadiri High Level Week Sidang Majelis Umum PBB (UNGA) ke-78 dalam persiapan Summit of The Future (SoTF) yang akan digelar setahun kemudian. Pertemuan ini bertujuan untuk memperkuat pondasi multilateral yang merupakan prioritas untuk mengatasi ancaman-ancaman yang muncul kini dan yang akan datang. Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi menekankan bahwa reformasi tatanan normatif internasional dibutuhkan untuk merealisasikan KTT SoTF beserta resolusi konkret di tahun mendatang di mana hal ini pernah disampaikan oleh Indonesia di UNGA ke-77. Salah satu dari ketiga agenda yang dibawa Indonesia adalah reformasi Dewan Keamanan PBB (UNSC). Reformasi ini diperlukan untuk mengikis defisit trust dengan mengubahnya menjadi lebih inklusif dengan melandaskan prinsip kolaborasi, solidaritas, dan win-win solution untuk merangkul negara-negara berkembang demi mencapai kesetaraan. Hal ini diikuti dengan permintaan Indonesia untuk mencalonkan diri kembali sebagai anggota tidak tetap dari UNSC untuk periode 2029-2030.
Namun, di samping cita-cita besar tersebut, kehadiran Indonesia dalam High Level Week Majelis Umum PBB kemarin menjadi yang pertama kali setelah absensi berulang dari Jokowi dalam pertemuan UNGA dan hal itu mengisyaratkan ketidakseriusan Jokowi dalam menanggapi tantangan global dan menihilkan kesempatan mereka untuk membuktikan kepemimpinan global yang didasarkan oleh kapabilitas mereka dalam menggelar presidensi G20 dan KTT ASEAN.
Walaupun Rusia dan Amerika Serikat menyambut gagasan reformasi tersebut dengan positif, namun pertanyaan akan kredibilitas Indonesia, terlebih sikap mereka terhadap prioritas-prioritas keamanan masih diragukan mengingat isu-isu kemanusiaan yang gagal untuk dilaksanakan, serta respon Indonesia terhadap ancaman teritorial di Laut Cina Selatan yang dianggap tidak asertif. Oleh karena itu, jika terpilih menjadi anggota tidak tetap UNSC, Indonesia akan dihadapkan pada keraguan banyak pihak yang disebabkan oleh ketidakhadiran Jokowi dalam pertemuan-pertemuan UNGA menambah kekhawatiran tersebut.
Dengan kuota yang relatif kompetitif untuk kursi non-permanen dalam dewan keamanan, maka ambisi Indonesia jika terpilih harus besar untuk memberikan kontribusi yang signifikan mengingat sejarah Indonesia dalam partisipasi mereka dalam operasi peacebuilding di beberapa negara Timur Tengah, serta usaha mempromosikan elemen-elemen demokrasi di negara-negara yang masih asing terhadap konsep tersebut. Hal ini membuktikan sebenarnya Indonesia adalah negara yang dapat diandalkan sebagai partner yang mampu menengahi jika terdapat ketegangan atau konflik dalam hubungan antar negara. Kemampuan demikian disebut oleh para akademisi sebagai norm entrepreneur. Mengutip dari Breuning (2007), norm entrepreneur adalah aktor, baik itu negara atau individu, yang mengadvokasi adaptasi standar-standar internasional tertentu dan bekerja secara diplomatis untuk meyakinkan negara lain untuk mengadaptasi norma tersebut. Dalam hal ini, Indonesia sebenarnya sudah mencukupi standar dalam pemenuhan peran sebagai norm entrepreneur. Namun, dinamika internasional serta prioritas politik yang berbeda dari pemangku kebijakan antar generasi akan berpengaruh dalam proses mereka dalam menjalani tugas advokasi tersebut.
Masa gemilang Indonesia dalam kiprah hubungan luar negeri mekar dalam periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di bawah kepemimpinannya yang didasari dengan "one million friends, zero enemies," mendorongnya untuk terlibat aktif dalam berkontribusi terhadap komunitas internasional, terlebih perwujudan kedamaian global yang adil dan merata seperti yang diamanahkan dalam alinea pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Beberapa aksi yang patut diberi apresiasi adalah andil Indonesia dalam misi-misi perdamaian (peacebuilding) di negara yang berkonflik, salah satunya di Libya melalui misi UNIFIL di tahun 2006. Periode ini merupakan waktu yang krusial bagi Indonesia dengan latar belakang transisi demokrasi dari pemerintahan sebelumnya yang otoriter. Cerita sukses tersebut digunakan oleh SBY untuk berkomitmen dalam menjadikan Indonesia sebagai salah satu pionir dalam mempromosikan nilai-nilai demokrasi sekaligus menjembatani hubungan antara negara berkembang dan negara maju sebagaimana yang ia nyatakan dalam Non-Aligned Movement Summit di tahun 2006. Dengan nyata, amanat itu ia jalankan dan dapat kita amati dalam aksi Indonesia mengirimkan Jenderal Agus Widjojo bernegosiasi dengan junta militer Myanmar dalam meyakinkan mereka untuk mereformasi pemerintahan yang dulunya kediktatoran menjadi demokrasi dan upaya tersebut dibarengi bantuan kemanusiaan di area-area yang rentan akan konflik.
Di luar itu, institusi internasional untuk menyokong ambisi Indonesia juga dicanangkan seperti Bali Democracy Forum (BDP) yang melahirkan Institute for Peace and Democracy yang menjadi pusat pelatihan keterampilan dalam mengaplikasikan konsep demokrasi dan perdamaian. Di level regional, Indonesia memimpin pembentukan badan ASEAN yang berfokus dalam pemeliharaan hak asasi manusia, yakni ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR). Hal ini juga diperlukan untuk meningkatkan eksposur internasional Indonesia serta reputasi sebagai growing power di antara negara berkembang. Namun, penanganan birokrasi serta manajemen APBN dinilai masih kurang dimana hal-hal tersebut tercerminkan dalam indikator ekonomi yang menurun seperti rasio ketimpangan yang meningkat sebesar 0,5 persen dibarengi dengan kurangnya penciptaan lapangan pekerjaan yang memadai dari angka 272 ribu menjadi 164 ribu sekaligus pengeluaran APBN yang tidak proposional di belanja birokrasi sebesar 22,17 persen dari 16,23 persen di 2013, subsidi energi naik dari 16,2 persen ke 20,89 persen, dan belanja modal yang naik sedikit dari 6,4 persen menjadi 8,06 persen.
Walapun demikian, pencapaian SBY tidak bisa dihiraukan begitu saja. Jika dibandingkan, nampaknya Jokowi harus berusaha lebih keras lagi terlebih arah orientasi kebijakan luar negeri yang diadaptasinya cenderung lebih inward-looking atau melihat ke dalam. Program yang disasar untuk menarik investasi asing sangat gencar dilakukan oleh Presiden yang ke-7 ini. Kebijakan seperti 13 Deregulasi Paket serta kedekatan dengan Cina yang melahirkan proyek pembangunan infrastruktur seperti Kereta Cepat 'Woosh' Jakarta-Bandung, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Sungai Kayan. Memang benar, pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas dari sebagian presiden Indonesia. Namun, signifikansinya tidak memberikan kontribusi yang sangat besar bagi Indonesia walaupun fokus pemerintah terkonsentrasi dalam bidang tersebut untuk mencapai angka minimal 7% sebagaimana yang dialami oleh negara-negara maju dan menjadi janji Jokowi saat pemilu 2014. Nyatanya riset dari LPEM UI menunjukkan bahwa pertumbuhan Indonesia berada di 5% selama 9 tahun terakhir dan rasio ketimpangan yang masih bertahan di angka 0,388 dari target 0,30 di 2019. Walaupun demikian, Jokowi lihai dalam menangani angka inflasi yang mampu mempertahankannya di kisaran 3% dari 2015-2019, bahkan lebih rendah lagi menyentuh angka 1,68% di 2020 yang didukung resesi di tengah pandemi pada periode kuartal II-2020 hingga kuartal I-2021.
Dengan terkonsentrasinya fokus pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, maka prioritas lain, termasuk upaya-upaya dalam meningkatkan penjagaan hak asasi manusia diabaikan begitu saja meskipun hal ini tercantum dalam 'Nawacita' yakni visi misi Jokowi saat mencalonkan diri sebagai presiden. Maka, bisa kita simpulkan bahwa pemerintahan Jokowi tidak memiliki kemauan yang besar untuk menjajakan dirinya di forum internasional selama itu tidak memenuhi kepentingan ekonominya. Selain itu, pernyataan yang diberikan oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizsyah, Indonesia belum memiliki fokus yang jelas jika duduk terpilih menjadi anggota non-permanen dewan keamanan dan hal ini tentunya mengkhawatirkan sehingga memunculkan pertanyaan akan kesungguhan dari pemerintahan Jokowi dalam menyeimbangi partisipasi mereka di level global dengan prioritas yang mereka kejar.
Dinamika isu internasional saat ini jelas memerlukan perhatian yang signifikan seperti perang yang terjadi di antara Rusia-Ukraina bersamaan dengan isu genosida yang berlangsung di Palestina yang secara langsung berpengaruh terhadap tatanan global terlebih setelah kita melalui pandemi Covid-19. Hal-hal tersebut juga berpengaruh secara tidak langsung terhadap kondisi keamanan domestik Indonesia seperti polarisasi kelompok masyarakat tertentu, keadaan di Papua dan lebih jauh lagi di Laut Cina Selatan. Indonesia di bawah pemerintahan SBY dinilai sangat antusias untuk ikut berkontribusi dalam mewujudkan perdamaian global serta menjadi perpanjangan tangan untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasi meskipun keadaan domestik masih dianggap mengkhawatirkan bahkan hingga periode pimpinan Jokowi yang memang fokus untuk pembangunan ekonomi nasional. Dapat disimpulkan bahwa prioritas tersebut menghalau Jokowi dalam melihat dampak berjangka yang merupakan hasil dari minimnya partisipasi sang presiden di panggung internasional yang didasarkan oleh pragmatisme dalam manuver politiknya.
Christina Supit, Research Assistant dari Indonesian Institute of Advanced International Studies (INADIS)