Aktivitas pengolahan timah tanpa izin yang diduga telah berlangsung lama di wilayah Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Pasalnya, kegiatan tersebut disinyalir tidak hanya melanggar aturan perizinan, tetapi juga berpotensi mencemari lingkungan sekitar akibat tidak adanya instalasi pengolahan limbah.
Berdasarkan hasil penelusuran lapangan pada 6 September 2025, terdeteksi adanya dugaan penyalahgunaan perizinan oleh salah satu pelaku usaha bernama Sukariadi, yang menjalankan usaha pribadi di bidang pengumpulan baterai aki bekas dan pengolahan timah. Ironisnya, usaha tersebut disebut tidak memiliki izin usaha, izin lingkungan (UKL/UPL), maupun instalasi pengolahan limbah yang semestinya menjadi syarat utama kegiatan industri berisiko tinggi.
Aktivitas Ilegal Bertopeng Kandang Kambing
Dari keterangan sumber di lapangan, kegiatan peleburan timah tersebut dijalankan secara terselubung dengan modus lokasi yang dikamuflase sebagai kandang kambing. Di tempat itu, limbah abu dari sisa timah milik Inalum disebut dimasak ulang untuk diambil kembali kandungan timahnya, dengan hasil mencapai sekitar 30%. Untuk menutupi kekurangan bahan baku, pelaku diduga mencampurkan limbah baterai basah yang mengandung zat beracun dan berbahaya.
Proses peleburan dilakukan secara sederhana tanpa pengendalian emisi atau limbah cair, dan hasil timah batangan kemudian dijual kepada sejumlah penampung di wilayah Kecamatan Batang Kuis, dengan distribusi ke Medan dan sekitarnya.
Masyarakat Keluhkan Dampak Lingkungan
Sejumlah warga sekitar lokasi mengaku khawatir dengan aktivitas tersebut. Asap tebal dari proses peleburan kerap menimbulkan bau menyengat dan diduga mengandung partikel logam berat yang membahayakan kesehatan.
"Kalau malam, asapnya pekat sekali. Anak-anak sering batuk dan mata perih," ungkap salah satu warga yang enggan disebut namanya.
Masyarakat berharap aparat penegak hukum dan pemerintah daerah segera turun tangan menertibkan aktivitas yang diduga ilegal ini. Selain merusak lingkungan, kegiatan tersebut juga dinilai merugikan negara karena tidak menyetor pajak dan royalti sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Harga Tinggi, Risiko Tinggi
Kegiatan ilegal ini diduga dipicu oleh harga timah batangan (tin ingot) yang cukup tinggi di pasar global. Pada periode April–Mei 2025, harga timah tercatat mencapai Rp340.000 hingga Rp380.000 per kilogram, mengikuti fluktuasi di Bursa Logam London (LME).
Namun di balik potensi keuntungan besar, pengolahan timah tanpa izin justru berisiko tinggi secara hukum dan lingkungan.
Melanggar Sejumlah Undang-Undang
Berdasarkan regulasi yang berlaku, aktivitas pengolahan timah tanpa izin melanggar berbagai ketentuan hukum, antara lain:
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), dengan ancaman pidana hingga 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp10 miliar bagi pelaku yang sengaja mencemari lingkungan.
UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang menyebutkan bahwa siapa pun yang melakukan usaha pertambangan tanpa izin resmi (IUP/IUPK) dapat dipidana hingga 5 tahun penjara dan denda Rp100 miliar.
Selain itu, jika limbah dari aktivitas tersebut terbukti mencemari lahan pertanian atau sumber air, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga berwenang turun tangan karena adanya potensi pencemaran pada rantai pangan.
Desakan Penegakan Hukum dan Pengawasan Ketat
Para pemerhati lingkungan di Sumatera Utara menilai kasus ini harus menjadi perhatian serius pemerintah daerah dan aparat penegak hukum.
"Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini soal keselamatan lingkungan dan kesehatan masyarakat," ujar salah satu aktivis lingkungan dari Deli Serdang.
Ia juga mendesak Dinas Lingkungan Hidup (DLH) serta Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menindak tegas kegiatan serupa yang berpotensi merusak lingkungan dan mengancam keselamatan warga.
Hingga berita ini diturunkan, kegiatan di lokasi pengolahan timah tersebut dilaporkan masih berlangsung, tanpa adanya tanda-tanda penghentian. Warga berharap pemerintah tidak tutup mata terhadap dugaan praktik yang tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai prinsip keadilan lingkungan.