Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024 di Indonesia, khususnya Sumatera Utara, akan dilaksanakan pada Rabu, 27 November.
Pesta demokrasi 5 tahun sekali ini akan memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota.
Namun, LBH medan menilai Pilkada kali ini tidak memberikan gagasan/ide konkrit untuk mensejahterakan rakyat dan melindungi HAM. Hal ini dapat dilihat dari visi dan misi para kepala daerah di Sumatera Utara yang terkesan hanya tulisan-tulisan indah semata.
Menurut Irvan Saputra SH MH dari LBH Medan, Pilkada 2024 ini menurutnya malah cenderung hanya menjanjikan angin surga kepada rakyat. Parahnya lagi, bukan memberikan ide atau gagasan, akan tetapi saling sindir dan bahkan tidak sedikit menyebabkan tim sukses/pendukung para kandidat membuat kegaduhan dimuka umum secara terang terangan.
"Sejarah kepemiluan di Indonesia tidak terlepas dari terjadinya kecurangan-kecurangan dalam pilkada. Diantaranya tidak netralnya ASN dan Aparatur Penegak Hukum dan Adanya Serangan Fajar (Money Politic) untuk memenangkan paslon tertentu," ungkap Irvan, Selasa (26/11) siang.
Secara umum diakui Irvan, Serangan fajar merupakan sebuah istilah lain dari “politik uang” yang biasanya dilakukan menjelang hari pemungutan suara, yang diisyaratkan dengan meminta seseorang untuk memilih Paslon tertentu menjelang detik-detik pencoblosan.
"Serangan fajar juga diartikan sebagai pemberian uang, barang atau jasa kepada pemilih dengan tujuan mempengaruhi pemilih untuk memilih pasangan calon tertentu," urainya.
Praktik ini diakui Irvan, sejatinya dilakukan secara diam diam, biasanya pada malam atau pagi hari menjelang pemungutan suara.
Adapun bentuk-bentuk serangan fajar yang pertama menurutnya, pemberian uang secara langsung. Dimana uang dibagikan dalam amplop atau dibungkus dengan cara lain. Kedua, pemberian barang barang seperti sembako dan lain lain.
"Ketiga, pemberian jasa seperti memberikan fasilitas antar jemput baik dengan ojol, angkot dan becak untuk mengantarkan pemilih ke tempat pemungutan suara dengan imbalan memilih calon tertentu," urainya.
Sedangkan dampak serangan fajar menurut Irvan Saputra, merusak demokrasi, menghambat terciptanya Pilkada yang bersih dan adil.
"Jika serangan fajar tidak disikapi dengan tegas dan serius, maka sudah barang tentu praktik ini akan menjadi budaya politik yang buruk dan mendarah daging sehingga berimbas pada rusaknya demokrasi dan menghancurkan negeri," tegasnya.
Sedangkan untuk mencegah serangan fajar menurutnya ada 3 poin, diantaranya, pertama, perlunya kesadaran masyarakat tentang bahayanya serangan fajar (Money Politic) terhadap kesejahteraan suatu daerah. Kedua, Penguatan pengawasan yang harus dilakukan Bawaslu dan KPU. Dan yang Ketiga, penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan.
"Oleh karena itu, LBH Medan menghimbau masyarakat khususnya Sumatera Utara untuk menolak serangan fajar (Money Politic). Karena sesungguhnya serangan fajar merusak demokrasi dan menghancurkan negeri. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka kedepannya yang akan menjadi korban adalah masyarakat sendiri," beber Irvan Saputra.
Diakui Irvan, seperti bagaimana celetukan dikalangan masyarakat tidak ada makan siang gratis, artinya apa yang telah dikeluarkan para calon kepala daerah maka seyogiyanya akan dikembalikan dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum.
"Semisal korupsi. Serangan Fajar juga berakibat merugikan dan menyengsarakan rakyat," ungkapnya.
Untuk itu, sebut Irvan, masyarakat harus berani menolak, mendokumentasikan serta melaporkan jika adanya money politik kepada Bawaslu atau Panwaslu.
"LBH Medan juga mengajak masyarakat secara bersama sama mengawal pesta demokrasi," bebernya.
"Secara hukum serangan fajar (Money Politic) telah diatur dalam Pasal 278 ayat (2), 280 ayat (1) huruf j, 284, 286, ayat (1), 414 dan 523 Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dengan ancaman paling lama 4 tahun penjara dan denda. Serta melanggar UUD 1945 jo UU 39 Tahun 1999 tentang HAM," demikian tutup Irvan Saputra.