Selasa, 25 Nov 2025

Saat KB Masih Jadi Tanggung Jawab Perempuan: Di Mana Peran Laki-Laki?

Medan (utamanews.com)
Oleh: Vannya Tesalonika Panggabean, Yulita Sembiring & Esekiel Pranata Ginting Senin, 24 Nov 2025 17:18
Rina, 29 tahun, sudah lima tahun memakai suntik KB. Setiap tiga bulan ia harus pergi ke puskesmas, menahan perubahan hormon, sakit kepala, dan siklus menstruasi yang tak teratur. Selama itu pula, suaminya Ardi tak pernah benar-benar terlibat dalam menentukan metode kontrasepsi yang digunakan. Ketika ditanya mengapa tidak mencoba kondom atau mempertimbangkan vasektomi, Ardi hanya menjawab bahwa KB adalah urusan perempuan. Cerita Rina bukanlah kasus yang langka. Di berbagai daerah di Indonesia, banyak perempuan memikul secara penuh tanggung jawab KB, baik secara fisik maupun mental, sementara laki-laki masih berada di pinggir persoalan yang sebenarnya menyangkut dua orang ini.

Data BKKBN menunjukkan bahwa lebih dari 75% pengguna KB di Indonesia adalah perempuan. Pil, suntik, IUD, dan implant mendominasi, sementara metode untuk laki-laki seperti kondom dan vasektomi masih sangat rendah peminatnya. Kondisi ini memperlihatkan bagaimana masyarakat masih menganggap urusan reproduksi sebagai wilayah perempuan. Norma tradisional ini sejalan dengan konstruksi peran gender yang menempatkan perempuan sebagai pengelola urusan domestik, termasuk urusan kelahiran. Di sisi lain, budaya patriarki justru membuat laki-laki mengambil posisi sebagai pengambil keputusan dalam keluarga tanpa harus memikul beban reproduksi yang lebih besar.

Minimnya keterlibatan laki-laki dipengaruhi berbagai faktor. Stigma tentang maskulinitas membuat sebagian laki-laki percaya bahwa vasektomi dapat mengurangi kejantanan mereka, meski secara medis tidak berpengaruh pada kemampuan seksual. Edukasi KB di lapangan pun kerap lebih banyak menyasar perempuan, sehingga laki-laki tidak merasa memiliki kepentingan langsung untuk terlibat. Pada saat yang sama, pandangan “yang hamil perempuan, jadi perempuan yang KB” masih sangat kuat dalam masyarakat. Akibatnya, beban kontrasepsi pun cenderung jatuh pada tubuh perempuan, tanpa ada kemitraan yang setara.

Beban ini menimbulkan dampak yang tidak kecil. Perempuan harus menghadapi efek samping hormonal, kecemasan terhadap kehamilan yang tidak direncanakan, serta tekanan sosial jika KB gagal. Dalam hubungan rumah tangga, mereka kerap menanggung tanggung jawab reproduksi sendirian tanpa dukungan emosional dan praktis dari pasangan. Padahal dalam perspektif pemberdayaan perempuan, otonomi dalam menentukan pilihan reproduksi hanya bisa dimiliki ketika perempuan tidak dibebani sendirian dan ketika laki-laki ikut terlibat sebagai mitra yang setara.
Keterlibatan laki-laki dalam KB sangat penting bukan hanya untuk meringankan beban perempuan, tetapi juga untuk menciptakan hubungan keluarga yang sehat, komunikatif, dan adil. Ketika laki-laki ikut terlibat dalam menentukan metode kontrasepsi, efektivitas KB meningkat, komunikasi antara pasangan membaik, dan relasi menjadi lebih seimbang. KB pada akhirnya bukan sekadar soal memilih alat kontrasepsi, tetapi tentang bagaimana pasangan berbagi tanggung jawab dalam menjaga kesejahteraan keluarga.

Untuk mengubah pola lama ini, diperlukan edukasi yang lebih menyeluruh dan tidak bias gender. Kampanye publik perlu menampilkan laki-laki sebagai pengguna KB, bukan sekadar pendamping. Layanan konseling KB pun idealnya dilakukan untuk pasangan, bukan hanya untuk perempuan. Pekerja sosial dan tenaga kesehatan dapat berperan penting dalam menghapus stigma vasektomi, membangun pemahaman yang lebih rasional, dan mendorong komunikasi reproduksi yang setara di dalam keluarga. Perubahan tidak akan terjadi jika hanya perempuan yang didorong untuk sadar; laki-laki juga harus diajak untuk berbagi peran.

Kisah Rina dan banyak perempuan lainnya menunjukkan bahwa KB masih dipandang sebagai beban perempuan. Selama laki-laki tetap berjarak dari urusan reproduksi, kesetaraan gender sulit tercapai. Sudah saatnya kita menghapus anggapan lama itu dan memahami bahwa KB adalah tanggung jawab dua orang. Keluarga yang sejahtera hanya bisa terwujud ketika laki-laki dan perempuan mengambil keputusan secara bersama terutama dalam urusan yang menyangkut masa depan mereka dan anak-anak mereka.
Editor: Budi
Tag:
busana muslimah
Berita Terkini
gopay later
Berita Pilihan
adidas biggest sale
promo samsung
flash sale baju bayi
wardah cosmetic
cutbray
iklan idul fitri alfri

Copyright © 2013 - 2025 https://utamanews.com
PT. Oberlin Media Utama

ramadan sale

⬆️