Aliansi Sumut Bersatu (ASB), melalui Rumah Aman Peduli Puan, sejak 2016 aktif melakukan pendampingan penanganan kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) di Sumatera Utara.
Pada periode 2024, ASB telah menangani 13 kasus terdiri dari kasus pencabulan dan rudapaksa sebanyak empat kasus, kasus pelecehan seksual satu kasus, kasus KDRT sebanyak tiga kasus.
Selanjutnya kasus kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) dua kasus, kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) satu kasus, kasus bullying terhadap anak disabilitas satu kasus dan kasus femisida satu kasus.
"Dalam konteks angka kasus, mungkin jumlah yang berhasil didampingi oleh ASB masih tergolong kecil, karena dipastikan kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak di Sumut dipastikan sangat tinggi," ujar Direktur ASB Ferry Wira Padang, Senin (25).
"Karena ASB masih sangat kecil sumberdaya, baik dari segi financial maupun sumberdaya manusia. Maka ASB memutuskan memilih pendampingan secara intensif pada korban tetapi akibatnya jumlah kasus yang ditangani menjadi kecil secar angka," sambungnya.
Lebih lanjut dikatakan Wira, akses korban memang mendapatkan keadilan dan pendampingan komperehensif masih menjadi persoalan utama di Sumut pada khususnya. Sedangkan untuk mengawal dan mengupayakan implementasi UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) berjalan dengan baik.
"ASB banyak melakukan kerja-kerja advokasi dalam memastikan terpenuhinya hak korban, terkhususnya pada pendampingan korban kekerasan seksual," beber Wira.
Sedangkan pada tahun 2023 hingga 2024, ASB mendampingi kasus kekerasan seksual yang di alami korban rudapaksa yang pelakunya merupakan anak pemilik kos, di mana korban tinggal pada saat kuliah.
Proses hukum dilakukan di Polrestabes Medan. Dan pelaku dihukum menggunakan UU Perlindungan anak di junto ke UU TPKS dengan putusan 12 tahun penjara.
Tak hanya itu, hak Restitusi korban melalui LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) dan diputuskan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam sebesar Rp 42.984.100.
"ASB juga melakukan pendampingan terhadap anak disabilitas intelektual yang menjadi korban bully yang kemudian dikeluarkan dari sekolah. Merespon hal tersebut, ASB telah berupaya bekerjasama dengan pemerintah kelurahan dan Kader Layanan Berbasis Komunitas (LBK) yang ada di salah satu Kelurahan Sidomulyo, Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat," tegas Wira.
Direktur ASB ini menambahkan, advokasi yang dilakukan menjadi catatan keberhasilan. Dimana korban dapat mengakses haknya sebagai anak, yaitu hak memperoleh pendidikan setelah dikeluarkan dari sekolah sebelumnya.
Dalam mengupayakan kerjasama dalam masyarakat yang berdaya dan peka akan kasus Kekerasan Seksual, ASB membentuk Layanan Berbasis Komunitas (LBK) di kabupaten Langkat, Kecamatan Stabat.
"LBK menjadi wadah pengaduan terdekat untuk perempuan dan anak di Kabupaten Langkat yang menjadi korban kekerasan," kata Wira.
Bahkan kader LBK berasal dari kelompok perempuan di tingkat Desa/Kelurahan di kecamatan Stabat, kabupaten Langkat, yang memiliki kemampuan penanganan kasus untuk pertolongan pertama terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan.
Menyorot hal tersebut, ASB berdasarkan temuan, rekomendasi, dan refleksi pengalaman dari kerja-kerja pendampingan serta mengupayakan hak korban, mendesak pemerintah daerah memperkuat Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), serta lembaga layanan dan bersinergi dengan masyarakat sipil dengan membuat kebijakan melindungi perempuan dan anak korban kekerasan.
"Mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) untuk menggunakan UU TPKS dalam menangani kasus kekerasan seksual. Meminta pemerintah segera mengesahkan dan menyelesaikan aturan turunan UU TPKS,
Mendukung Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam melakukan pendampingan kasus," tutup Wira.