"Beliau itu amalnya banyak," gumam lirih Menko Perekonomian Hatta Radjasa saat jenazah Dr H Taufik Kiemas, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) diturunkan ke liang lahat di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, kemarin. Suasana hening saat itu membuat suara selirih itu pun bisa terdengar jelas. Apalagi saya memang berada di dekat tokoh yang sekampung dengan almarhum itu.
"Kita pun kelak akan pulang ke rumah masa depan itu," komentar lirih Ir Abu Rizal Bakrie, Ketua Umum Golkar setelah mendengar suara lirih Hatta itu. ARB (d/h Ical), kelihatan paling siap menghadapi cuaca panas kemarin itu. Dia mengenakan baju koko putih tipis dan tangannya selalu memegang benda modern kecil berwarna biru muda. Itulah kipas angin mini. Sebelum jenazah tiba, beberapa menteri terlihat mencoba alat itu dengan komentar yang sama: enak juga ada AC di udara seperti ini.
"Akhirnya kita memang hanya akan menempati rumah 1 x 2 meter," sambung Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang juga salah seorang Ketua Partai Amanat Nasional.
Begitulah. Tuhan pasti memberi apa yang tidak pernah diminta manusia: kematian.
"Beliau itu teman semua orang," ujar tokoh PDI Perjuangan yang juga Wakil Ketua DPR Pramono Anung yang berada di sebelah saya. Mas Pram, begitu panggilannya, masih mengenakan celana jeans karena memang baru tiba dari Singapura mengawal jenazah almarhum kembali ke Tanah Air.
Tentu semua orang sepakat dengan kesimpulan Pramono Anung itu: teman semua orang. Ucapan-ucapan beliau selalu menyenangkan. Beberapa kali saya dipanggil menghadap beliau dan beberapa kali ditelepon beliau, tidak sekali pun membuat saya susah. Kata-katanya selalu memberi semangat, memberi dukungan, dan membesarkan hati.
Bahkan kata-kata beliau yang paling pedas pun (SBY itu kekanak-kanakan) justru dinilai merupakan kata-kata yang sangat menyenangkan Pak SBY pada akhirnya. Kata-kata itulah yang membuat Pak SBY mendapat simpati luas saat itu, dan akhirnya dinilai menjadi salah satu faktor yang membuat Pak SBY terpilih sebagai presiden pertama hasil pemilihan langsung oleh rakyat.
Pak SBY sangat kelihatan menghormati Pak TK, sapaan akrab almarhum. Dalam setiap acara pemerintah, Pak SBY selalu menghampiri Pak TK sebelum menempati kursi kepresidenan. Selalu pula ada kata-kata yang diucapkan pada saat-saat seperti itu. Maka tak ayal bila Pak SBY sendiri yang memimpin rapat persiapan negara untuk pemakaman almarhum. Pak SBY sendiri yang menjemput jenazah di Bandara Halim Perdanakusuma. Dan Pak SBY sendiri yang menjadi inspektur upacara di TMP.
Hubungan Pak TK dengan Pak SBY seperti itu sebenarnya sudah semestinya. Tapi hubungan khusus tersebut menjadi menonjol karena dinginnya hubungan antara Pak SBY dan Ibu Mega. Pak TK seperti bisa memerankan diri agar suasana dingin itu tidak sampai menjadi beku.
Tak ayal bila peristiwa pemakaman Pak TK ini penuh dengan harap-harap cemas. Berharap agar tercipta suasana yang lebih cair. Cemas lantaran benarkah semudah itu mencairkannya.
Tentu semua orang lega ketika Pak SBY menyambut kedatangan jenazah. Ini berarti sudah ada pembicaraan yang mendalam antara negara dan Ibu Mega. Namun orang tetap penuh perhatian apa yang akan terjadi di Taman Makam Pahlawan. Orang pun menahan nafas ketika pihak keluarga diagendakan tabur bunga pertama ke liang lahat, bukan Ibu Mega yang melakukannya melainkan putranya, Rizki Pratama. Tahan nafas kian dalam ketika wakil keluarga berikutnya yang memasukkan tanah ke liang lahat masih bukan Ibu Mega, melainkan putrinya, Puan Maharani.
Saya sudah sering mendengar nama Rizki Pratama tapi baru sekali ini melihatnya. Rasanya benar kata orang, inilah keturunan Bung Karno yang paling mirip Bung Karno. Saya memperhatikannya dari segala sudut: benar-benar persis Bung Karno. Telinganya sekali pun. Rizki yang kini berumur 42 tahun memang tidak banyak beredar karena hanya menekuni bisnis. Konon Pak TK keberatan kalau Rizki terjun ke politik.
Tapi akhirnya semua lega ketika ternyata Ibu Mega tampil di agenda puncak: meletakkan karangan bunga di atas pusara. Apalagi acara itu dilakukan setelah inspektur upacara, Pak SBY, meletakkan karangan bunga untuk yang pertama.
Lebih lega lagi ketika di akhir acara Pak SBY berjalan dari tempatnya menjadi inspektur upacara menuju tenda di mana seluruh keluarga almarhum berada. Kelihatan Ibu Mega berdiri menyambut dari tempatnya duduk dan menerima jabat tangan Pak SBY. Memang tidak sempat ada baku-kata, tapi jabat tangan berikutnya antara Ibu Any Yudhoyono dan Ibu Mega juga terjadi dengan tingkat kewajaran yang tanpa pengecualian. Saya yang hanya berjarak dua meter dari baku-jabat ini menghembuskan nafas yang sangat panjang.
Di saat hidupnya Pak TK sendiri memang bisa menjadi seperti penyejuk suasana setiap kali hubungan pemerintah dengan PDI Perjuangan terasa renggang.
"PDI Perjuangan itu bukan partai oposisi," ujar Pak TK di beberapa kesempatan. "PDI Perjuangan itu partai penyeimbang," tambahnya.
Bisa saja ada orang yang menilai ucapan itu sebagai permainan kata-kata. Tapi tidak bagi Pak TK. Perbedaan antara "oposisi" dan "penyeimbang" itu, bagi beliau, sangat prinsip.
"Dalam konstitusi kita tidak mengenal istilah oposisi," ujarnya. "Jadi, siapa yang menamakan dirinya partai oposisi dia melanggar konstitusi."
Seringnya kata-kata oposisi dipakai di negeri ini menandakan mulai bengkoknya sistem bernegara kita. Beliau ingin terus meluruskan apa yang beliau anggap mulai bengkok. Karena itu beliau ngotot sekali mensosialisasikan "Empat Pilar" yang tidak boleh hilang dari negara kita: Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.
Bahkan beliau sampai memerintahkan membuka kamus bahasa Indonesia agar tidak ada yang menyalahartikan pengertian "Empat Pilar". Terutama ketika ada tokoh nasional yang mempersoalkannya dengan kata-kata "Pancasila mestinya tidak sekadar dijadikan pilar".
Nah, setelah kamus dibuka, Pak TK lega. Tidak ada yang salah dengan istilah "Empat Pilar". Menurut kamus itu, "pilar" artinya pondasi. Bukan seperti yang dibayangkan sementara orang bahwa pilar itu seperti tiang rumah.
Tentu ada alasan kuat mengapa Pak TK getol dengan sosialisasi "Empat Pilar" itu. Tidak mungkin beliau segetol itu kalau tidak melihat gejala yang membahayakan empat pondasi kenegaraan kita itu. Terutama menggejalanya politik aliran yang berkembang ke memudarnya toleransi. Bukan saja antaraliran, bahkan di dalam aliran itu sendiri.
Tentu banyak pertanyaan ini: mengapa jenazah almarhum tidak disemayamkan dulu di kediaman. Mengapa pula tidak disinggahkan di gedung MPR. Mengapa tiba dari Singapura di Halim Perdanakusuma disemayamkan di situ satu jam untuk langsung dimakamkan di TMP Kalibata. Macam-macam spekulasi yang dibicarakan secara bisik-bisik di masyarakat. Tentu saya sendiri juga penasaran. Karena itu langsung saja saya tanyakan ke pihak keluarga. Kebetulan saya memang berada di arah belakang Ibu Mega dan Mbak Puan.
"Ibu Mega menghendaki agar pemakaman ini sudah harus selesai sebelum waktu Dhuhur," ujar Pramono Anung. Jelaslah bahwa Ibu Mega ternyata sangat mendalam memperhitungkan hukum agama di bidang tatacara pemakaman.
Dan betul. Begitu Menteri Agama Suryadharma Ali membacakan doa, suara adzan Dhuhur terdengar bersahut-sahutan dari berbagai masjid di sekitar TMP. (Ant)