Pemilihan umum merupakan bagian dari proses demokrasi untuk memilih wakil rakyat dengan tingkat partisipasi masyarakat yang responsif dalam keikutsertaannya.
Karena itu, partisipasi masyarakat yang tinggi sangat diharapkan dalam tiap penyelenggaraan pemilu.
Tingkat keikutsertaan pemilih dalam pemilu sangat ditentukan dengan dijalankan atau tidak salah satu peran parpol sebagai sarana artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat.
Survei yang dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyebutkan tingkat “undecided voters” dan golput masih relatif tinggi. Sebanyak 40,5 persen responden belum menentukan pilihan dan 2,7 persen golput.
Semakin tingginya angka golput disebabkan adanya hubungan yang lemah antara konstituen dengan partai politik atau politikus. Hal ini menimbulkan kualitas hubungan yang buruk di antara pemilih dan partai sehingga menimbulkan perilaku beli putus serta tidak adanya hubungan emosional antara rakyat dan politikus menjadi penyebabnya.
Survei CSIS kali ini menguatkan pandangan tentang tidak terlembaganya parpol yang mengakibatkan proses rekrutmen dan kaderisasi yang merupakan pintu gerbang hubungan partai konstituen juga lemah.
Survei tersebut dilakukan secara tatap muka dengan jumlah responden 1.635 orang yang berada di 31 provinsi pada tanggal 9-16 April 2013. Terhadap warga Papua dan Papua Barat tidak dilakukan survei lantaran situasi yang tidak kondusif.
Di dalam survei tersebut tingkat kesalahan atau “margin of error” sebesar 2,42 persen.
Jumlah “undecided voter” atau yang sering disebut massa mengambang dari hasil survei CSIS itu mengalahkan elektabilitas parpol dari hasil penelitian lembaga itu. Partai Golkar sebesar 13,2 persen, PDI Perjuangan 12,7 persen.
Di bawah dua parpol itu, berurutan Partai Gerindra 7,3 persen, Partai Demokrat 7,1 persen, Partai Amanat Nasional empat persen, Partai Kebangkitan Bangsa 3,5 persen.
Tentu saja hasil survei itu sangat mengkhawatirkan karena jumlah massa yang belum memilih lebih tinggi dibandingkan elektabilitas partai. Namun hal itu juga belum bisa dijadikan satu-satunya rujukan dalam memotret kondisi pemilih dalam konteks kekinian.
Pemilih dalam pemilu tentu memiliki hak untuk memilih atau tidak memilih namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa jumlah massa mengambang sangat tinggi. Keberadaan massa mengambang itu dapat diartikan orang yang belum menentukan pilihannya dalam pemilu.
Guru besar Ilmu Politik Universitas Indonesia Budiatna menilai semakin tingginya angka massa mengambang menunjukkan masyarakat tidak percaya kepada partai politik. Masyarakat, menurut dia, menunggu sosok atau figur yang dinilainya cocok dengan kriteria yang diinginkannya.
“Rakyat sudah bosan karena hanya dimanfaatkan suaranya menjelang pemilu setelah itu ditinggalkan. Massa mengambang ini belum menentukan pilihan dan masih menunggu,” kata Budiatna.
Jumlah massa mengambang survei CSIS itu selalu menang dengan perolehan suara partai pemenang pemilu 1999 hingga 2009.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) pemenang pemilu 1999 adalah PDI Perjuangan dengan perolehan suara sebesar 33,74 persen, di pemilu 2004 Partai Golkar menang dengan suara sebesar 21,57 persen. Sementara itu Partai Demokrat menguasai pemilu 2009 dengan perolehan suara sebesar 20,81 persen dari total perolehan suara.
Budiatna menegaskan semakin tingginya angka massa mengambang itu diakibatkan prilaku koruptif yang dilakukan elit partai. Menurut dia apa yang dicitrakan parpol tidak sesuai dengan kondisi nyata partai yang bertindak koruptif sehingga merugikan masyarakat.
“Misalnya PKS selama ini mencitrakan diri sebagai partai agama, bersih, dan tidak korupsi. Akan tetapi, kenyataannya sangat bertolak belakang dengan pencitraan tersebut,” ujarnya.
Fungsi Parpol Tidak Berjalan
Ilustrasi Pemilih pemula. (Foto: antarasumut/ist)
Miriam Budiardjo dalam bukunya berjudul “Dasar-Dasar Ilmu Politik” menyebutkan ada empat fungsi partai politik dalam sebuah negara demokratis.
Pertama fungsi partai politik sebagai sarana komunikasi politik, kedua sosialisasi politik atau “political socialization”. Ketiga sebagai sarana rekrutmen politik atau “political recruitment”, dan keempat sebagai pengatur konflik atau “conflict management”.
Fungsi parpol sebagai sarana rekrutmen politik, Miriam menekankan partai berfungsi mencari dan mengajak orang berbakat untuk ikut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Fungsi tersebut juga diusahakan menarik kalangan muda untuk dididik menjadi kader di masa mendatang untuk menggantikan pemimpin lama.
Namun beberapa kalangan menilai fungsi parpol banyak yang tidak berjalan khususnya dalam proses rekrutmen politik yang didalamnya ada mekanisme pendidikan dan kaderisasi.
Pengamat politik Universitas Indonesia Iberamsjah mengatakan partai politik tidak menjalankan fungsinya seperti kaderisasi politik dan pendidikan politik kepada masyarakat.
Menurut dia, kondisi tersebut tidak baik dalam iklim demokrasi yang sedang dibangun Indonesia karena bisa menimbulkan apatisme masyarakat dalam kegiatan politik. Dia menjelaskan, apatisme yang tinggi bisa menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi politik masyarakat.
“Saat ini tidak ada partai yang melakukan kaderisasi karena mereka pragmatis sehingga mengambil orang yang populer di masyarakat seperti artis, dan pelawak. Bahkan ada kecenderung an artis yang kontroversial dimasukkan sebagai kader,” kata Iberamsjah.
Sementara itu pengamat politik dari Sugeng Saryadi Syndicate (SSS), Toto Sugiarto, memperkirakan tingkat partisipasi politik masyarakat di Pemilu 2014 hanya 60 persen. Hal itu karena anggota legislatif terus memberikan kabar buruk bagi masyarakat seperti terjerat kasus korupsi.
“Publik kemungkinan semakin apatis karena DPR tidak pernah memberi kabar baik ke ruang publik, seperti terjerat kasus korupsi, malas hadir dalam rapat dan kunjungan kerja ke luar negeri yang menghabiskan uang negara tanpa ada transparansi,” kata Toto Sugiarto.
Sistem kaderisasi parpol dan kader yang ditempatkan di lembaga legislatif sangat berkaitan erat karena buruknya sistem itu berkorelasi dengan kualitas kader.
Toto mengatakan sistem rekrutmen partai yang kacau, pengambilan bakal calon legislatif yang terkesan tidak serius dan tidak berkualitas menyebabkan pemilih menjadi apatis.
Menurut dia, munculnya apatisme tersebut karena publik berpikir untuk apa memilih namun sistem kepartaian di Indonesia tidak mampu mengubah nasib bangsa.
“Kalau tidak ada perubahan, partisipasi publik di 2014 akan rendah dibandingkan 2009 yaitu 70 persen, dan 2004 dengan persentase 80 persen,” ujarnya.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah pemilih dalam pemilu 1999 sebanyak 105.786.661 orang. Dan pada pemilu 2004 sebanyak 113.468.414 orang, dan pada pemilu 2009 sebanyak 104.048.118 orang.
Tingginya tingkat apatisme masyarakat dalam pemilu tentunya tidak diharapkan karena itu peran parpol diharapkan lebih masif dalam menjalankan fungsinya.
Parpol perlu didorong untuk lebih responsif menyampaikan kepentingan masyarakat dengan pendidikan politik. Selain itu gagasan dan ide konstuktif serta alternatif perlu dikembangkan parpol untuk menjawab tantangan masyarakat Indonesia yang semakin kritis. (Ant)